Saturday, August 11, 2018

Dosen Indonesia

Semua profesi tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya, pun menjadi dosen.

Salah satu hal baik menjadi dosen di Indonesia adalah kemudahannya menjadi dosen tetap/ tenure. Di beberapa negara lain, tak mudah menjadi dosen tetap. Kawan-kawan saya yang bergelar Doktor di Jepang atau Perancis, misalnya mesti mengikuti post-doc dulu, menerbitkan disertasi-nya menjadi buku, baru bisa melamar menjadi dosen tetap, itupun kalau ada lowongan (kabarnya semakin jarang). Kompetisi-nya juga cukup ketat karena portofolio di bidang akademik seperti publikasi ilmiah amat menentukan. Kalaupun ada kasus master menjadi dosen tetap, ini hal yang amat langka sekali, mungkin hanya untuk orang-orang super-cemerlang saja.

Di indonesia, syarat menjadi dosen hanya bergelar master saja, sedikit yang rekrutmen awalnya doktor. Bahkan beberapa tahun lalu, orang bergelar sarjana bisa menjadi dosen tetap. Saya menjadi dosen tetap PNS ketika masih sarjana di tahun 2006 dan kemudian melanjutkan kuliah S2 dan  baru mendapatkan gelar S3 di tahun 2015. Artinya titik berangkat menjadi dosen di Indonesia jauh lebih mudah daripada di negara lain yang saya ketahui.

Dalam kondisi semacam ini, tentu saja wajar jika kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain yang standar dosennya bergelar Doktor. Perhatikan data dari paparan Prof. Bunyamin Maftuh

Screenshot 2018-01-31 07.01.38

Hal ini nampaknya disadari pemerintah dengan menggelontorkan beasiswa S2 dan S3 baik di dalam dan luar negeri. Untuk beasiswa luar negeri, menurut catatan Dikti:

“Pada periode 2011-2015, jumlah dosen yang mendapatkan pendanaan beasiswa S-3 sebesar 1,848 orang atau sekitar 68 persen dari total pendanaan beasiswa, sedangkan beasiswa S-2 diserap 878 orang atau 32 persen. Program ini menghadapi kendala yaitu kurangnya kemahiran dalam berbahasa asing dan para kandidat kurang berkompetensi membuat proposal penelitian yang kompetitif.” ((Puspawarna Pendidikan Tinggi Indonesia, 2016)

Bagaimana dengan beasiswa Dosen untuk kuliah di dalam negeri melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN).:

“Berdasarkan LAKIP Kemenristekdikti 2015, pada periode 2012-2015 pemerintah telah menyekolahkan dosen sebanyak 11.837. Seperti halnya program BPP-LN, program BPP-DN juga lebih menitikberatkan pembiayaan program doktoral dibandingkan magister. Hal ini tergambar dari grafik tren pembiayaan S-3 yang semakin naik, dengan total 63 persen, sedangkan sisanya pembiayaan S-2 semakin menurun dari tahun ke tahun.” (Puspawarna Pendidikan Tinggi Indonesia, 2016)

Namun, pada tahun 2017 terjadi gejolak akibat penurunan kuota beasiswa Doktor menjadi hanya 500 untuk BUDI DN dan 50 untuk BUDI LN.


kecilnya kuota ini menimbulkan gejolak berupa protes dari Dosen-dosen yang tidak berhasil mendapatkan beasiswa namun kadung terdaftar menjadi Mahasiswa Doktoral. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Doktor Seluruh Indonesia (AMS-SI) mengadakan demo sampai ke Istana Merdeka.

Namun tentu saja, ada banyak peluang lain mendapatkan beasiswa, termasuk beasiswa-beasiswa dari negara tujuan seperti AAS, Fullbright, DAAD, Monbusho, dll.

***

Dosen di Indonesia memang menghadapi persoalan yang tak mudah untuk menghasilkan performance yang baik.

Diluar buruknya fasilitas, perpustakaan atau seringnya tak ada meja kerja bagi dosen (di beberapa banyak kampus), persoalan yang cukup sering dibahas memang soal  penghasilan. Hal ini sudah bolak-balik dibahas di berbagai forum. Di sebuah forum Dosen, dosen PNS bergelar master lektor IIId diomeli dan dianggap tidak bersyukur karena mengeluhkan gaji-nya yang lebih kecil dari tukang sampah dan penjaga apartemen di perancis. Saya juga pernah menuliskan perbandingan menjadi dosen di indonesia dan malaysia di sini.

Seberapa besar/kecil-kah gaji dosen di Indonesia?

Jika anda menjadi Dosen Tetap PNS, maka gaji pokoknya mengikuti Gaji PNS. Jika masuk dengan ijazah S2, maka anda termasuk golongan IIIb masa kerja 0 tahun dengan gaji pokok sebesar 2.560.600. Nah jika masuk dengan ijazah S3, maka masuk golongan IIIC dengan masa kerja 0 tahun maka gaji pokoknya sebesar 2.668.900.

Nah selama setahun biasanya menjadi CPNS dengan gaji diterima sebesar 80%-nya.

Silahkan bandingkan dengan gaji pertama beberapa perusahaan swasta/bumn berikut disini. Oh ya, ada juga sih beberapa kampus swasta yang menggaji dosennya dengan standar perusahaan swasta yang baik, gaji pertamanya sekitar tiga atau empat kali gaji pertama dosen PNS di Indonesia.

Seru ya?

Hmm tapi sejujurnya, dibandingkan dengan pekerjaan lain, dosen adalah pekerjaan yang menarik. Cepat atau lambatnya karir seorang dosen, lebih tergantung dari kapasitas dan produktivitasnya. Semakin produktif menghasilkan karya ilmiah, terutama di Jurnal terakreditasi dikti atau jurnal internasional, semakin cepat laju karirnya.

Seorang dosen di Indonesia memiliki empat jenjang jabatan fungsional (Jafung)/ jabatan akademik dosen.  Nah bagaimana proporsi jabatan fungsional dosen di Indonesia, astaga, ternyata sebagian besar gak punya jabatan fungsional 😦


Setiap jenjang ada tunjangan fungsionalnya, gak naik dari tahun 2007 lho, he he



***

Hmm mari kita membuat simulasi bagi mereka yang memulai berkarir sebagai dosen,

Ketika melamar dan diterima statusnya Tenaga Pengajar, artinya dosen yang belum memiliki jabatan fungsional dosen.  Setelah setahun biasanya sudah boleh mengajukan jafung asisten ahli. Angka kredit asisten ahli IIIb hanya 150 yang sudah pasti bisa didapatkan dari ijazah S2, namun tentu saja mesti tetap ditambah 10 kredit dari kegiatan penelitian, pengajaran dan pengabdian, plus ditambah mesti punya publikasi minimal di jurnal nasional. Sesuai Perpres 65 tahun 2007 tunjangan fungsional asisten ahli jumlahnya Rp.375.000,- sedangkan lektor Rp. 700.000,-

Oh ya, kegiatan utama Dosen disebut tridharma perguruan tinggi, meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka bobot untuk angka kredit penelitian semakin tinggi.



Dua tahun kemudian bisa mengajukan kenaikan ke jabatan fungsional lektor dengan angka kredit 200-399. Artinya mesti mengumpulkan angka kredit sebanyak minimal 50 (200-150) dari kegiatan tridharma: pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Nah dua tahun kemudian bisa mengajukan kenaikan ke jabatan fungsional lektor kepala. Jumlah kredit lektor kepala adalah antara 400-849.  Berapa tunjangan lektor kepala? Rp. 900.000,-

Nah, kasta tertinggi di dunia perdosenan adalah menjadi Profesor. Syaratnya selain angka kredit minimal 850 seorang LK baru bisa mengajukan menjadi Profesor setelah 3 tahun memiliki ijazah Doktor (kecuali punya tulisan di jurnal internasional berputasi setelah meraih gelar doktor), dua tahun menjadi LK dan memiliki tulisan di Jurnal Internasional bereputasi sebagai penulis pertama, dan minimal 10 tahun menjadi dosen.  Tunjangan seorang Profesor memang hanya Rp. 1.350.000,- namun bisa mendapatkan tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok.

Hmmm berikut beberapa slide dari paparan Prof Bunyamin Maftuh tentang kenaikan jabatan fungsional dosen. Dulu kenaikan Jabatan dari satu jenjang ke jenjang selanjutnya mebutuhkan masa iddah tunggu 3 tahun, sekarang hanya 2 tahun dan ada mekanisme loncat segala.




Oh ya, untuk anda yang cemerlang, ada kesempatan lompat dari asisten ahli ke lektor kepala dan dari lektor ke guru besar atau Profesor. Perhatikan tabel di bawah ini:




Sumber pendapatan lain bagi dosen adalah sertifikasi dosen yang sudah berjalan beberapa tahun lalu. Jumlah tunjangan sertifikasi dosen adalah satu kali gaji pokok, sama dengan Guru SD sampai SMA. Oh ya kalau Guru malah bisa dapat Tunjangan Daerah, kalau Dosen tidak. Tapi beberapa kampus yang sudah berstatus BLU memberikan remunerasi dengan jumlah bervariasi.

***

Karena itulah, menjadi Profesor secepat mungkin adalah jalan terbaik dalam berkarir sebagai dosen. Dosen-dosen, khususnya dosen muda harus mampu merancang karir dengan baik, dalam kurun 10 tahun sudah mencapai Jenjang Jabatan Akademik Profesor. Keistimewaan jabatan Profesor di Indonesia adalah berlaku sama untuk dosen tetap PNS maupun swasta, serta tidak ada persaingan dengan dosen lain. Yang harus dikalahkan adalah diri sendiri.

Dari sisi finansial, seorang Profesor bisa mendapatkan empat kali gaji pokok, plus tunjangan fungsional guru besar. Mari kita hitung secara kasar, katakanlah seorang profesor golongan IVd dengan MKG 10 tahun dengan gaji pokok Rp. 3.833.800, maka take home pay-nya adalah (Rp. 3.833.800,-X4) + Rp. 1.350.000,-. = Rp. 16. 685.200,-.

Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat dari Lektor Kepala IIId MKG 10 tahun yang mendapatkan (Rp. 3. 248.300,- X 2) + Rp. 900.000,- = Rp. 7.396.600,-. (Gaji pokok, sertifikasi, dan tunjangan fungsional)

Nah celakanya, Kemenristekdikti melalui PermenristekDitki No. 20 tahun 2017 membuat ancaman bagi Dosen bergelar Lektor Kepala dan Guru Besar yang tidak berhasil membuat publikasi ilmiah (Jurnal akreditasi atau Jurnal Internasional). Bagi Dosen Lektor kepala ancamannya adalah penghentian tunjangan fungsional dosen, dan bagi Guru besar adalah penghentian tunjangan kehormatan.

Jadi malang betul nasib Lektor kepala, jika tidak ada publikasi di jurnal terakreditasi setiap tahun atau jurnal internasional, maka penghasilannya bisa di bawah Lektor. Aneh ya? he he

Maka wajar jika Dosen berebut Jabatan Struktural (Baca: Tugas tambahan). Jika punya jabatan, maka akan mendapatkan pendapatan tambahan sebagai berikut (Perpres 65 tahun 2007):


***

Jadi seperti ide awal di tulisan ini, karir dosen memang tergantung dari seberapa kompetensi dan produktivitas seorang dosen. Jika Ia produktif dan bersekolah dengan semangat sampai S3, maka laju karirnya juga bisa cepat. Namun jika malas sekolah dan juga tidak produktif meneliti dan publikasi, tentu saja akan terlindas zaman.

Kata kuncinya adalah perencanaan karier. Kapan harus mulai dan menyelesaikan S3, kapan harus publikasi, dan sebagainya, serta kemauan untuk memahami berbagai aturan berlaku yang seringkali berubah-ubah.

Misalnya tahun lalu saya masih berdiskusi dengan seorang Profesor penilai PAK soal apakah paper di jurnal internasional bereputasi yang merupakan bagian/sintesis dinilai untuk pengajuan ke Guru Besar atau tidak? Diskusi waktu itu tidak menghasilkan kesimpulan.

Ternyata dalam bahan presentasi Prof Bunyamin di berbagai kampus, hal tersebut dijelaskan dengan jelas, tanpa multitafsir.



jadi seperti kata Darwin, survival of the fittest. Not strongest atau smartest, apalagi funniest 🙂

Berbagai perubahan di dunia pendidikan tinggi ini memang menimbulkan dampak serius. Ada (sebagian) dosen yang telanjur berumur dan belum sekolah Doktor yang karirnya terancam  mengalami stagnasi.  Sebaliknya ada juga (sebagian) dosen  yang sudah/ sedang bersekolah Doktor baik di dalam dan luar negeri yang bisa melaju karirnya. Namun juga tidak mudah karena harus terus berproduksi (baca: meneliti dan publikasi). Jika malas, juga sulit untuk mencapai karir tertinggi menjadi Profesor. Bahkan Lektor Kepala yang sudah berijazah doktor-pun sekarang tidak mudah menjadi Guru Besar karena harus memiliki publikasi di Jurnal internasional bereputasi. Seorang dosen lektor kepala mengatakan, lebih mudah masuk surga daripada jadi professor, gara-gara harus publikasi terindeks scopus.

Oh ya, satu lagi. bagaimana nasib dosen yang masih S1 ya?, secara misalnya peraturan-peraturan baru sudah tidak mencantumkan dosen S1 di dalamnya. Pendidikan minimal dosen sesuai UU Guru dan Dosen No. 14 2005 adalah magister untuk mengajar jenjang Diploma dan Sarjana. Nah dosen berpendidikan S1 memiliki waktu sampai 30 Desember 2015, persis sepuluh tahun setelah UU Guru dan Dosen diundangkan. Penjelasan super-komplit dari Bunda Fitri bisa dibaca di sini.

Hmmm… inilah dunia dosen, bagaimana menurut anda?

disclaimer: Tulisan ini lebih banyak soal dosen PNS, maklum tak tahu banyak dunia dosen swasta, mungkin baik juga jika ada yang mau menuliskannya 🙂

Oh ya, tulisan ini perspektifnya karier. Perspektif bisnis, politis atau selebritis, tentu beda 🙂
Sumber
https://abdul-hamid.com/2018/01/31/menjadi-dosen-di-indonesia-edisi-revisi/#more-10016

Related Posts Plugin for 
WordPress, Blogger...